samping sopir, melenguh lega terhindar dari sinar matahari, tubuhku bau matahari. Cukup 25 menit sampailah aku. ** di depan gubug itu terdapat seonggok warung kecil mungil. Dua orang perempuan tua yang hampir sebaya sedang bercakap. Aku mengenali mereka, satunya gendut, big size, satuny kurus melengkung bahkan ketika ia duduk. Kudatangi keduany, q sapa, namun salah seorang yg kurus itu alih-alih menatapku. Matany nanar... sejenak mata ini beradu, menembus ke dalam tubuh hatinya. Perempuan tua itu haru, kaku, sakit, tiada lagi kesanggupan. Perempuan tua itu, mata itu, tak mengenaliku. mulut ini menjadi kaku, tak secomot katapun terpikir, tak secuil katapun terucap dari mulut ini. Aneh, bahkan setelah perempuan berbadan gendut menjelaskan siapa aku, perempuan tua kurus ini masih haru bercampur asing. Tatapan mata nanar itu... ** tak tahan lagi dengan perasaan aneh yang menggumuli, hati ini menuntunku beranjak meninggalkan kedua perempuan tua itu. Gamang aku melangkah,ragu, tergetar. Dulu aku dan perempuan tua kurus itu begitu akrab. Seringkali keluh manjaku ditanggapinya, membuatny luluh dan menuangkan segala kasih sayangny padaku. Pernah beberapa kali tangan tuanya meraba tubuhku dengan kasih, menekan-nekan bagian tubuhku yang butuh pijatan lembutnya. "Sebelah sini Mak, punggungku sakit". Tak lama dengan cekatan tangan itu berpindah ke punggung. Dulu mata perempuan tua yang kurus itu cerah, lembut, adem, dan kini ??? aku memasuki kamarku, sejenak terkulai di tempat peraduanku tiap gelap tiba. Ukurannya kecil, hanya 2,5 x 2,5 m. pikiran ini masih berselancar, menjelajahi laut pikiran. Mata nanar itu, apa yang membuatnya begitu nyinyir?? terlintas benak ini mengingat percakapan antara biyung dan uak ku tentang tragedi hidup si perempuan tu. Pemilik mata nanar itu tersangkut ke dalam persoalan hutang piutang. Ia dijebak salah satu anaknya, hmm, apa masih bisa disebut anak?? sekarang pemilik mata nanar itu yang harus menanggung segala kewajiban angsuran hutang. Perempuan tua yang kurus itu berprofesi sebagai pembantu rumah tangga serabutan. Kalau biasanya disebut 'rewang'. Pekerjaannya tak tetap, ia hanya akan dianggap oleh orang lain ketika dibutuhkan saja. Berapa penghasilannya?? Bahkan seringkali ia menanti belas asih untuk urusan perut. Tentulah ia tak akan mampu menyunggi hutang puluhan juta.. ** seluruh perasaan ini larut, tumpah ruah, tau tau, tak paham, tak sanggup melihat mata nanar itu, sungguh pengalaman buruk barusan. Apakah besok masih aku temui mata nanar itu? Apa yang sebaiknya kulakukan, agar dapat memberi cahaya, mengembalikan kelembutan dan ketenangan di mata perempuan tua itu? apa? Siapa aku? bahkan mengurusi diriku saja masih terbata-bata. Tugas akhir 4 tahunanku pun belum juga rampung. "duh Gusti, apa dayaku?". Tubuh ini melemas, menerawang, mungkin di warung kecil di depan gubug itu, perempuan tua yang kurus dengan matanya yg nanar, wajahnya yang berkerut keriput termakan waktu, tubuhnya yang melengkung, masih menatap hampa segala sekelilingnya. Mungkin ia masih duduk kaku terpaku menanti perbaikan nasibny yg tak kunjung baik. Mata nanar itu, perempuan tua itu.. biyungnya biyungku.. aku hanya berkehendak, namun tak memiliki kesanggupan. Aku cucunya... Mata ini mulai terpejam, diam, membisu, meninggalkan kenyataan yang sembilu, sendu.. berlari ke alam maya. Mungkin disana aku tak perlu menemui mata nanar itu lagi.. Perlahan, pelan... zzt..zzz..zzt at bedroom
copy from: vara rosa's notes
0 komentar:
Posting Komentar
ada komentar?